Cerpen 1
PROCRASTINATOR
Tringgggg….
Tringgggg.... Tringgggg….
Dengan berat aku membuka mataku ini. Lalu
kutekan tombol ‘tunda’
pada jam alarm di handphone yang berada tepat sebelah kepalaku ini.
Kukucek-kucek mataku dan kulihat jam di dinding yang menunjukan pukul 04.30.
Puas-puasin tidur dulu ah.. Hari terakhir libur
sekolah nih. Lagian, masih kepagian juga. Azan subuh juga belum berkumandang. Setengah
jam lagi bisa kali ya?
***
Tringgggg….
Tringgggg…. Tringgggg….
Dengan
berat kubuka lagi mataku yang penuh tahi mata ini. Kutekan tombol ‘alarm berhenti’ pada handphone
yang sekarang pindah di kakiku ini. Kukucek-kucek mata dan melihat jam di
dinding yang menunjukan jarum pendek di angka 5, jarum panjang di angka 12 dan jarum panjang
warna merah di angka 5.
Entar
dulu ah.. lima
menit lagi.
Solat
subuh juga belum habis
kalau ditunda lima menit
lagi.
Cuma lima menit!
***
HHHUUUAAAPPP….
Aku
menguap lebar-lebar.
Kukucek-kucek mataku dan langsung melihat ke jam dinding. Jam
dinding itu berkata bahwa sekarang adalah pukul 09.53. Kukucek-kucek lagi
mataku untuk memastikan apakah mataku mulai menghianatiku atau tidak dan
kulihat lagi ke arah jam dinding yang sekarang menunjukan pukul 09.54. Masih
belum percaya,
kukucek-kucek lagi mataku dan kusiram mereka dengan air dari wastafel. Kulihat
lagi jam di dinding yang sekarang menunjukan pukul 10.00. Masih belum
percaya, kubuka gorden jendela
dan
kulihat sinar matahari yang sangat menyilaukan mataku itu menunjukan
tanda-tanda hari sudah siang, juga kulihat dari balkon depan jandela beberapa
anak kecil sedang asik bermain di depan rumahku.
ASTAGHFIRULLAH AL AZIM , udah jam segini aku baru bangun? Berarti aku
nggak solat subuh dong? Ya Allah maafkan hambamu ini yang lalai
menjalankan perintahmu dan menjauhi laranganmu yang kau telah tuangkan lewat “Assolaatu khairun minan naum.”
Tanggal berapa sih
sekarang? Kok, sepertinya aku sial? Tanggal empat? Haha… masih tanggal muda.
Biasanya aku tuh sial di tanggal-tanggal tua. Biasanya juga aku sial karena
kekurangan uang alias bokek. Tunggu…. Apa tanggal empat? Langsung aku ambil note book yang ada di atas meja sebelah tempat tidurku. Aku
buka halaman per halaman tanpa peduli isinya dan bentuk kertasnya sekarang
akibat ulah tanganku yang nggak sabar ingin cepat-cepat menuju halaman yang
dituju. Mataku mulai mengurutkan bulan dan tanggal. Januari…. Febuari…. Maret….
April…. Mei…. Juni…. Juli…. Agustus…. September…. Dapet! Tanggal 4 September : 1. Dateline cerpen Ayo Nulis. “Tuh kan bener,
dateline cerpen. Aduh, mati aku! Aku
lupa kalau hari ini adalah hari terakhir ngumpulin cerpen ke ‘Ayo
Nulis’.”
Sudah kira-kira setahun aku ikut lomba nulis cerpen bulanan yang diadakan oleh
webside ‘Ayo Nulis’. Kalau menang hadianya dapat uang Rp50.000 per lembar
cerpennya. Kalau dipikir-pikir Rp50.000 lumayan sih buat makan bakso. Setiap bulannya
mereka mengambil sepuluh orang pemenang. Aku
sudah tiga kali memenang lomba itu lho. Lomba ini terbuka bagi siapa saja yang mau
ikut. Syaratnya hanya dua, yaitu kurang dari dua puluh tahun dan cerpen yang
diberikan harus original alias belum
pernah ditanyangkan dimana pun. Karena hadiah yang lumayan menggiurkan dan syarat
yang diberikan nggak ribet ini menarik hati kita-kita yang masih belasan tahun buat
ngirim cerpen. Banyak juga orang dari luar Jawa yang ikut
lomba ini lho. Cerpen yang dibuat harus berstampel POS. Jumlah pengirimannya
nggak dibatasin, jadi boleh ngirim sebanyak yang kamu punya. Biasanya aku
mengirimkan tiga sampai empat cerita untuk antisipasi kalau satu nggak lolos
kan masih ada yang lain hehehe…
Kembali ke suasana
sedih. Kenapa nggak dari kemarin-kemarin aku buka note book? Kenapa baru hari
ini sejak dua minggu yang lalu aku terakhir membukanya? Kalau tahu begini kan,
aku bisa antisipasi. Sekarang gimana?
Nggak mungkin juga aku ngirim cerpen sekarang. Bikin saja belum,
apalagi ngirim. Lagi pula,
mengirim lewat POS kan paling nggak butuh waktu seminggu. Benar apa kata
pepatah,”Time is money, waktu adalah uang,” dan
sekarang aku kehilangan kesempatan mendapatkan uang lima puluh ribu rupiah.
Tiba-tiba suara berisik terdengar dan menuntunku untuk berjalan mengarah kasur.
Suara itu ternyata lagu Procrastinatornya
Sandwich yang berasal dari hanphoneku tanda ada sms masuk.
Drrrttt… drrrttt…. drrrttt… You can
count on me drrrttt… drrrttt….
drrrttt… I'm gonna get it done, get it done…..
-Melly-
“Ayu,
aku udah di depan rumah kamu. Ayo turun, bukain pintu pager, digembok nih. Oh
iya jangan lupa langsung bawa novel aku yang kamu pinjam. Kamu udah hampir dua bulan pinjam novelku. Oh Iya, aku nggak mampir dulu. Aku
ikut mama aku ke kantor. Jadi cepetan bukanya, keburu mama aku telat. Aku
tunggu.”
-Terkirim-
“Iya
baweeellll .”
Melly sms disaat yang
tidak tepat, disaat aku lagi stress dan kecewa. Ngomong-ngomong, Melly datangnya cepet banget. Tumben pagi-pagi begini dia udah bangun. Pagi-pagi? Oh iya aku kan bangun udah siang tadi. Aduh, kok jadi pelupa
begini sih? Aduh, ada yang nggak beres nih. Sudah berapa kali aku lupa dalam
beberapa menit? Ooo… Mungkin karena baru bangun tidur jadi nyawaku belum terkumpul
kali ya? Aku juga belum inget banget dimana aku simpan novel itu. Bahkan aku sudah nggak inget sama sekali
kapan dan dimana terakhir aku baca novel itu. Sepertinya sudah lama banget aku
selesai baca itu novel. Benar-benar belum terkumpul nyawaku.
Kemudian aku mulai mencari-cari dimana novel
itu berada. Pertama-tama aku mulai mencari di sekitar kamar. Di rak buku nggak ada, di atas lemari nggak ada, di kolong
kasur juga nggak ada. Oh, mungkin di bawah bantal. Ciluk baaa… tidak ada. Dimana dong? Ya ampun,
kalau sampe tuh novel hilang bisa-bisa Melly
ngomel-ngomel. Membayangkan dia bicara saja sudah ngeri. Tau sendiri dia tuh kalo udah ngomong, sebanyak yang bisa dia ceritakan dan nggak pakai diringkas.
Melly itu orangnya baik, suka member, tapi dia nggak punya kata toleransi dalam
kamusnya. Dia sangat konsisten dengan apa yang ia lakukan. Dia akan
sangat-sangat benci malahan dendam sama aku kalau memang terbukti novel kesayangannya itu hilang. Apalagi tahu novel itu novel limited edition dan tidak semua orang dapat membeli novel
itu. Butuh perjuangan
ekstra untuk mendapatkan novel itu.
Aku mencoba mencari lagi di lantai bawah. Di
ruang tamu, mudah-mudahan kali ini dewi
fortuna memihak. Aku cari di atas kursi, tempat biasanya aku baca novel itu dan
nggak ada. Di kolong kursi nggak ada. Aku beralih
ke ruang makan. Di meja makan nggak ada. Di tempat cuci piring juga nggak ada.
Sampai aku cari ke toilet pun, ternyata juga nggak ada.
Dimana
ya? Berpikir sejenak. Lalu, tiba-tiba ada setitik cahaya terang
masuk ke dalam otakku tepatnya masuk kedalam bagian yang bernama korteks
prefrontal dorsolateral. Bagian itu adalah bagian dimana terletak daya ingat
manusia. Cahanya itu mengingatkan aku sesuatu. Seperti masa lalu yang sangat
lampau. Jalannya sangat cepat seperti memutar film dari belakang. Dan akhirnya
aku ingat sesuatu. Aku ingat sekarang. Aku
ingat kalau
waktu itu aku letakkan novel itu di kolong meja sekolah. Terakhir aku baca
novel itu pas exscul mading di kelasku tercinta, XII IPA 4, sebelum libur lebaran. Berarti novel
itu hilang di sekolah.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus ke sekolah? Iya benar ke
sekolah. Tapi pasti novel itu sudah hilang. Ya mau gimana lagi, itu usaha
terakhir yang bisa aku lakukan.
Aku bisa saja menunda lagi dan bilang ke Melly kalau aku pinjam seminggu lagi.
Tetapi, apa jadinya seminggu kemudian aku nggak bisa balikin. Dan aku bisa saja
jujur bilang bahwa bukunya hilang. Tetapi bisa dijadiin apa aku di kemudian hari,
dendeng kah? Abon kah? Atau kornet kah? Harusnya aku nggak bales SMS dia
tadi. Jadi kan seolah-olah aku nggak ada dirumah. Jadi nyesel!
Aduh, gimana nih? Pasti
Melly kesal harus nunggu di luar, apalagi mamanya mau cepat-cepat ke kantor. Melly
please… jangan SMS dulu. Jangan suruh aku keluar. Kata Mario Teguh, “Menunda
sesuatu sama dengan sebenarnya kita menghindari untuk melakukan sesuatu yang
kita tunda.” Benar sekali, Mario, kali ini aku menunda-nunda waktu bertemu Melly.
Drrrttt… drrrttt…. drrrttt… You can
count on me drrrttt… drrrttt….
drrrttt… I'm gonna get it done, get it done…..
-Melly-
“Yu,
lama banget. Ayo keluar! Aku udah
lumutan nih. Mama aku juga udah
telat. Jangan nunda-nunda begini dong. Eh
jangan-jangan novel aku hilang
ya? Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus cari sampai dapat titik. Eh iya
bukain pintu dulu, Yu.”
Panjang umur nih anak baru saja dipikirin. Aduh aku nggak bisa ngelak
lagi. Nggak mungkin kan aku
bukain pintu dulu. Bukain pintu sama saja aku bersedia mandapatkan benjolan-benjolan
dan make up warna biru-hitam di daerah wajah dan sekitarnya. Nggak ada yang
bisa bantuin aku. Mbok Sum lagi
pulang kampung. Mama, Papa dan Dendi adikku juga masih di Solo. Jadi nyesel aku
nggak ikut ke Solo. Tahu gini aku ikut mudik ke Solo. Sekalian pindah ke sana.
Apa aku kabur saja untuk selamanya? Tapi
gimana kalau Melly laporin aku ke polisi dan aku jadi buronan utama atas kasus
hilangnya novel itu. Terus aku dicari-cari dan dilacak keberadaanya. Poster
wajahku di tempel di setiap dinding rumah pojokan dan tiang listrik. Hehehe…
nggak mungkin, emangnya Nazarudin? Lagian aku bakalan
kangen banget sama Mami dan
Papiku tercinta.
Terdengar suara lonceng, gantungan yang aku
sangkutkan di pagar guna memberi tanda jika ada maling nekat memanjat pagar
rumah kami. Ternyata Melly mencoba memanjat pagar rumah. Astaghfirullah, nekat
juga tuh anak. Sekarang hanya tinggal meratapi nasib atau kabur lewat pintu
belakang. Pilihannya cuma satu dan aku pilih kabur lewat pintu belakang. Sempat aku mengintip jendela rumah sebelum
pergi. Terlihat Melly sedang
mengetuk-ketuk pintu dengan penuh semangat.
Sekarang aku mau kemana? Aku nggak punya
tujuan. Mana masih pakai baju piama begini. Muka masih berminyak. Nggak
bawa apa-apa pula. Malangnya nasibmu, nak. Oh iya, tadi kan aku niat ke sekolah nyari novel itu. Aku ke
sekolah aja kali ya? Ya Allah kata orang niat yang baik akan
menghasilkan sesuatu yang baik juga. Niatku baik ya Allah ingin mencari novel
itu. Kalau sudah ketemu akan kukembalikan secepatnya. Bismillahirrahmanirrahim…
aku jalan…
Langkah demi langkah aku jalani. Di
perjalanan, sambil aku berjalan sambil aku mengingat-ingat kenapa aku bisa
dalam masalah begini. Aku ingat-ingat dan akhirnya ingat juga. Berarti nyawaku sudah
terkumpul sekarang. Pasti gara-gara cahaya tadi.
Kembali ke ingatan, aku waktu liburan kan niat bikin cerpen, tapi aku males banget karena puasa. Orang
puasa kan lemas terus kurang nutrisi jadi buntu deh
otaknya nggak bisa berkreasi. Lagian waktu itu kan pikiran libur dua
minggu. Banyak waktu buat ngerjain cerpen. Eh malah kebablasan.
Waktu itu juga
aku niat mau balikin novel ke Melly sekalian
ekskul. Berhubung si Melly nggak dateng, jadi
nggak jadi dibalikin, tunggu hari-hari terakhir libur sehabis lebaran saja. Liburan dua minggu banyak waktu tersedia,
kalau cuma buat mulangin novel doang sih kecil. Kecil kok malah aku lupain ditinggal
di kolong meja? Karena sesuatu yang kecil-kecil inilah yang kadang-kadang
dianggap enteng dan akhirnya menimbulkan masalah yang besar. Berarti salah aku
juga yang telah menganggap enteng sesuatu.
Intinya
aku terkena masalah ini akibat ulahku sendiri yang menunda-nunda waktu. Aku pikir dengan waktu yang cukup lama, DUA MINGGU, aku bisa melakukan banyak hal. Malahan
kebalikannya. Kalau diingat-ingat sepertinya hampir
seluruh catatan note book aku selama liburan ini aku tunda dan belum ada yang di kerjakan deh. Termasuk PR Bahasa Indonesia membuat cerpen. Hari ini
saja sudah seperti ini, gimana besok?
Tapi
kalau dipikir-pikir, bukan sepenuhnya salah aku juga
dong. Dua minggu itu kan nggak full libur, seminggu dipakai untuk berkeliling rumah tetangga dan saudara di sekitar
Jakarta.
Terus kalau malam-malam di bulan Ramadhan kan
tarawih dari jam 19.00 sampai jam 21.00. Sehabis tarawih aku ikut tadarusan remaja
di masjid sampai jam 22.00. Habis itu aku tidur. Belom lagi kalau
sore-sore sebelum azan magrib ada acara kesukaanku yang wajib ditonton. Jadi
sepenuhnya bukan salah aku juga kan?
Eh
nggak terasa ngelamun ternyata lama juga ya. Tahu-tahu sudah sampai di depan
sekolah saja. Jalan kaki seratus meter juga nggak terasa.
Langsung aku tancap lari menuju kelas dimana terakhir
aku lihat novel itu. Sampai di depan XII IPA 4, aku menjelajahi kelas
mencari-cari bangku yang terakhir kali aku duduki. Yap, pojok kiri nomer tiga
dari belakang, bangku kesayangan. Jadi dek-dekkan begini. Mudah mudahan masih
ada itu novel di kolong meja. Bismillahirrahmanirrahim… Aku menutup mata.
Mari kita hitung sama-sama satu… dua… ti…ga… Aku membuka mata. Kosong?
Mungkin ini memang
jalan nasibku dan peringatan dari Allah karena telah melakukan kesalahan besar.
Aku tidak memanfaatkan waktu sebaik mungkin. aku menunda-nunda waktu. aku
seperti cerita dalam novel yang aku pinjam. Aku jadi seorang procrastinator dalam
dua minggu ini. Apa daya aku sekarang. Meratapi nasib seorang diri dikelas dan
hanya di temani beberapa murid yang sedang ekskul KIR di kelas sebelah. Benar
firman Allah dalam surat Al Ashr,”Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.”
Kalau sudah begini kan aku sudah merugi waktu, tenaga, dan materi.
Ya sudahlah. Ramadhan
penuh berkah. Ini pelajaran untukku. Aku harus terima kenyataan dan siap dengan
apa yang terjadi selanjunya. Dan aku pulang.
Tunggu… ada kertas?
Jorok banget sih buang sampah dikolong meja aku. Pasti anak ekskul nih. Ada
bacaannya lagi,”Telah ditemukan novel ‘The Procrastinator : si penunda waktu’
di kolong meja ini, barang siapa yang merasa pernah meletakannya segera hubungi
penjaga sekolah. Terimakasih.”
Alhamdulillah Ya
Allah. Nggak lagi-lagi deh…