Kamis, 22 November 2012

Cerpen 1
 
PROCRASTINATOR

 

Tringgggg…. Tringgggg.... Tringgggg….

 Dengan berat aku membuka mataku ini. Lalu kutekan tombol ‘tunda’ pada jam alarm di handphone yang berada tepat sebelah kepalaku ini. Kukucek-kucek mataku dan kulihat jam di dinding yang menunjukan pukul 04.30.

Puas-puasin tidur dulu ah.. Hari terakhir libur sekolah nih. Lagian, masih kepagian juga. Azan subuh juga belum berkumandang. Setengah jam lagi bisa kali ya?

***

 

Tringgggg…. Tringgggg…. Tringgggg….

Dengan berat kubuka lagi mataku yang penuh tahi mata ini. Kutekan tombol ‘alarm berhenti’ pada handphone yang sekarang pindah di kakiku ini. Kukucek-kucek mata dan melihat jam di dinding yang menunjukan jarum pendek di angka 5, jarum panjang di angka 12 dan jarum panjang warna merah di angka 5.

Entar dulu ah.. lima menit lagi. Solat subuh juga belum habis kalau ditunda lima menit lagi. Cuma lima menit!

 

***

HHHUUUAAAPPP…. Aku menguap lebar-lebar. Kukucek-kucek mataku dan langsung melihat ke jam dinding. Jam dinding itu berkata bahwa sekarang adalah pukul 09.53. Kukucek-kucek lagi mataku untuk memastikan apakah mataku mulai menghianatiku atau tidak dan kulihat lagi ke arah jam dinding yang sekarang menunjukan pukul 09.54. Masih belum percaya, kukucek-kucek lagi mataku dan kusiram mereka dengan air dari wastafel. Kulihat lagi jam di dinding yang sekarang menunjukan pukul 10.00. Masih belum percaya, kubuka gorden jendela dan kulihat sinar matahari yang sangat menyilaukan mataku itu menunjukan tanda-tanda hari sudah siang, juga kulihat dari balkon depan jandela beberapa anak kecil sedang asik bermain di depan rumahku.

ASTAGHFIRULLAH AL AZIM , udah jam segini aku baru bangun? Berarti aku nggak solat subuh dong? Ya Allah maafkan hambamu ini yang lalai menjalankan perintahmu dan menjauhi laranganmu yang kau telah tuangkan lewat “Assolaatu khairun minan naum.”

Tanggal berapa sih sekarang? Kok, sepertinya aku sial? Tanggal empat? Haha… masih tanggal muda. Biasanya aku tuh sial di tanggal-tanggal tua. Biasanya juga aku sial karena kekurangan uang alias bokek. Tunggu…. Apa tanggal empat? Langsung aku ambil note book yang ada di atas meja sebelah tempat tidurku. Aku buka halaman per halaman tanpa peduli isinya dan bentuk kertasnya sekarang akibat ulah tanganku yang nggak sabar ingin cepat-cepat menuju halaman yang dituju. Mataku mulai mengurutkan bulan dan tanggal. Januari…. Febuari…. Maret…. April…. Mei…. Juni…. Juli…. Agustus…. September…. Dapet! Tanggal 4 September : 1. Dateline cerpen Ayo Nulis. “Tuh kan bener, dateline cerpen. Aduh, mati aku! Aku lupa kalau hari ini adalah hari terakhir ngumpulin cerpen ke ‘Ayo Nulis’.”

Sudah kira-kira setahun aku ikut lomba nulis cerpen bulanan yang diadakan oleh webside ‘Ayo Nulis’. Kalau menang hadianya dapat uang Rp50.000 per lembar cerpennya. Kalau dipikir-pikir Rp50.000 lumayan sih buat makan bakso. Setiap bulannya mereka mengambil sepuluh orang pemenang. Aku sudah tiga kali memenang lomba itu lho. Lomba ini terbuka bagi siapa saja yang mau ikut. Syaratnya hanya dua, yaitu kurang dari dua puluh tahun dan cerpen yang diberikan harus original alias belum pernah ditanyangkan dimana pun. Karena hadiah yang lumayan menggiurkan dan syarat yang diberikan nggak ribet ini menarik hati kita-kita yang masih belasan tahun buat ngirim cerpen. Banyak juga orang dari luar Jawa yang ikut lomba ini lho. Cerpen yang dibuat harus berstampel POS. Jumlah pengirimannya nggak dibatasin, jadi boleh ngirim sebanyak yang kamu punya. Biasanya aku mengirimkan tiga sampai empat cerita untuk antisipasi kalau satu nggak lolos kan masih ada yang lain hehehe…

Kembali ke suasana sedih. Kenapa nggak dari kemarin-kemarin aku buka note book? Kenapa baru hari ini sejak dua minggu yang lalu aku terakhir membukanya? Kalau tahu begini kan, aku bisa antisipasi. Sekarang gimana? Nggak mungkin juga aku ngirim cerpen sekarang. Bikin saja belum, apalagi ngirim. Lagi pula, mengirim lewat POS kan paling nggak butuh waktu seminggu. Benar apa kata pepatah,”Time is money, waktu adalah uang,dan sekarang aku kehilangan kesempatan mendapatkan uang lima puluh ribu rupiah.

Tiba-tiba suara berisik terdengar dan menuntunku untuk berjalan mengarah kasur. Suara itu ternyata lagu Procrastinatornya Sandwich yang berasal dari hanphoneku tanda ada sms masuk.

Drrrttt… drrrttt…. drrrttt… You can count on me drrrttt… drrrttt…. drrrttt… I'm gonna get it done, get it done…..

-Melly-

“Ayu, aku udah di depan rumah kamu. Ayo turun, bukain pintu pager, digembok nih. Oh iya jangan lupa langsung bawa novel aku yang kamu pinjam. Kamu udah hampir dua bulan pinjam novelku. Oh Iya, aku nggak mampir dulu. Aku ikut mama aku ke kantor. Jadi cepetan bukanya, keburu mama aku telat. Aku tunggu.”

-Terkirim-

“Iya baweeellll .”

Melly sms disaat yang tidak tepat, disaat aku lagi stress dan kecewa. Ngomong-ngomong, Melly datangnya cepet banget. Tumben pagi-pagi begini dia udah bangun. Pagi-pagi? Oh iya aku kan bangun udah siang tadi. Aduh, kok jadi pelupa begini sih? Aduh, ada yang nggak beres nih. Sudah berapa kali aku lupa dalam beberapa menit? Ooo… Mungkin karena baru bangun tidur jadi nyawaku belum terkumpul kali ya? Aku juga belum inget banget dimana aku simpan novel itu. Bahkan aku sudah nggak inget sama sekali kapan dan dimana terakhir aku baca novel itu. Sepertinya sudah lama banget aku selesai baca itu novel. Benar-benar belum terkumpul nyawaku.

Kemudian aku mulai mencari-cari dimana novel itu berada. Pertama-tama aku mulai mencari di sekitar kamar. Di rak buku nggak ada, di atas lemari nggak ada, di kolong kasur juga nggak ada. Oh, mungkin di bawah bantal. Ciluk baaa… tidak ada. Dimana dong? Ya ampun, kalau sampe tuh novel hilang bisa-bisa Melly ngomel-ngomel. Membayangkan dia bicara saja sudah ngeri. Tau sendiri dia tuh kalo udah ngomong, sebanyak yang bisa dia ceritakan dan nggak pakai diringkas.

Melly itu orangnya baik, suka member, tapi dia nggak punya kata toleransi dalam kamusnya. Dia sangat konsisten dengan apa yang ia lakukan. Dia akan sangat-sangat benci malahan dendam sama aku kalau memang terbukti novel kesayangannya itu hilang. Apalagi tahu novel itu novel limited edition dan tidak semua orang dapat membeli novel itu. Butuh perjuangan ekstra untuk mendapatkan novel itu.

Aku mencoba mencari lagi di lantai bawah. Di ruang tamu, mudah-mudahan kali ini dewi fortuna memihak. Aku cari di atas kursi, tempat biasanya aku baca novel itu dan nggak ada. Di kolong kursi nggak ada. Aku beralih ke ruang makan. Di meja makan nggak ada. Di tempat cuci piring juga nggak ada. Sampai aku cari ke toilet pun, ternyata juga nggak ada.

 Dimana ya? Berpikir sejenak. Lalu, tiba-tiba ada setitik cahaya terang masuk ke dalam otakku tepatnya masuk kedalam bagian yang bernama korteks prefrontal dorsolateral. Bagian itu adalah bagian dimana terletak daya ingat manusia. Cahanya itu mengingatkan aku sesuatu. Seperti masa lalu yang sangat lampau. Jalannya sangat cepat seperti memutar film dari belakang. Dan akhirnya aku ingat sesuatu. Aku ingat sekarang. Aku ingat kalau waktu itu aku letakkan novel itu di kolong meja sekolah. Terakhir aku baca novel itu pas exscul mading di kelasku tercinta, XII IPA 4, sebelum libur lebaran. Berarti novel itu hilang di sekolah.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus ke sekolah? Iya benar ke sekolah. Tapi pasti novel itu sudah hilang. Ya mau gimana lagi, itu usaha terakhir yang bisa aku lakukan.

Aku bisa saja menunda lagi dan bilang ke Melly kalau aku pinjam seminggu lagi. Tetapi, apa jadinya seminggu kemudian aku nggak bisa balikin. Dan aku bisa saja jujur bilang bahwa bukunya hilang. Tetapi bisa dijadiin apa aku di kemudian hari, dendeng kah? Abon kah? Atau kornet kah? Harusnya aku nggak bales SMS dia tadi. Jadi kan seolah-olah aku nggak ada dirumah. Jadi nyesel!

Aduh, gimana nih? Pasti Melly kesal harus nunggu di luar, apalagi mamanya mau cepat-cepat ke kantor. Melly please… jangan SMS dulu. Jangan suruh aku keluar. Kata Mario Teguh, “Menunda sesuatu sama dengan sebenarnya kita menghindari untuk melakukan sesuatu yang kita tunda.” Benar sekali, Mario, kali ini aku menunda-nunda waktu bertemu Melly.

Drrrttt… drrrttt…. drrrttt… You can count on me drrrttt… drrrttt…. drrrttt… I'm gonna get it done, get it done…..

-Melly-

“Yu, lama banget. Ayo keluar! Aku udah lumutan nih. Mama aku juga udah telat. Jangan nunda-nunda begini dong. Eh jangan-jangan novel aku hilang ya? Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus cari sampai dapat titik. Eh iya bukain pintu dulu, Yu.”

Panjang umur nih anak baru saja dipikirin. Aduh aku nggak bisa ngelak lagi. Nggak mungkin kan aku bukain pintu dulu. Bukain pintu sama saja aku bersedia mandapatkan benjolan-benjolan dan make up warna biru-hitam di daerah wajah dan sekitarnya. Nggak ada yang bisa bantuin aku. Mbok Sum lagi pulang kampung. Mama, Papa dan Dendi adikku juga masih di Solo. Jadi nyesel aku nggak ikut ke Solo. Tahu gini aku ikut mudik ke Solo. Sekalian pindah ke sana.

Apa aku kabur saja untuk selamanya? Tapi gimana kalau Melly laporin aku ke polisi dan aku jadi buronan utama atas kasus hilangnya novel itu. Terus aku dicari-cari dan dilacak keberadaanya. Poster wajahku di tempel di setiap dinding rumah pojokan dan tiang listrik. Hehehe… nggak mungkin, emangnya Nazarudin? Lagian aku bakalan kangen banget sama Mami dan Papiku tercinta.

Terdengar suara lonceng, gantungan yang aku sangkutkan di pagar guna memberi tanda jika ada maling nekat memanjat pagar rumah kami. Ternyata Melly mencoba memanjat pagar rumah. Astaghfirullah, nekat juga tuh anak. Sekarang hanya tinggal meratapi nasib atau kabur lewat pintu belakang. Pilihannya cuma satu dan aku pilih kabur lewat pintu belakang. Sempat aku mengintip jendela rumah sebelum pergi. Terlihat Melly sedang mengetuk-ketuk pintu dengan penuh semangat.

Sekarang aku mau kemana? Aku nggak punya tujuan. Mana masih pakai baju piama begini. Muka masih berminyak. Nggak bawa apa-apa pula. Malangnya nasibmu, nak. Oh iya, tadi kan aku niat ke sekolah nyari novel itu. Aku ke sekolah aja kali ya? Ya Allah kata orang niat yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik juga. Niatku baik ya Allah ingin mencari novel itu. Kalau sudah ketemu akan kukembalikan secepatnya. Bismillahirrahmanirrahim… aku jalan…

Langkah demi langkah aku jalani. Di perjalanan, sambil aku berjalan sambil aku mengingat-ingat kenapa aku bisa dalam masalah begini. Aku ingat-ingat dan akhirnya ingat juga. Berarti nyawaku sudah terkumpul sekarang. Pasti gara-gara cahaya tadi.

Kembali ke ingatan, aku waktu liburan kan niat bikin cerpen, tapi aku males banget karena puasa. Orang puasa kan lemas terus kurang nutrisi jadi buntu deh otaknya nggak bisa berkreasi. Lagian waktu itu kan pikiran libur dua minggu. Banyak waktu buat ngerjain cerpen. Eh malah kebablasan.

Waktu itu juga aku niat mau balikin novel ke Melly sekalian ekskul. Berhubung si Melly nggak dateng, jadi nggak jadi dibalikin, tunggu hari-hari terakhir libur sehabis lebaran saja. Liburan dua minggu banyak waktu tersedia, kalau cuma buat mulangin novel doang sih kecil. Kecil kok malah aku lupain ditinggal di kolong meja? Karena sesuatu yang kecil-kecil inilah yang kadang-kadang dianggap enteng dan akhirnya menimbulkan masalah yang besar. Berarti salah aku juga yang telah menganggap enteng sesuatu.

Intinya aku terkena masalah ini akibat ulahku sendiri yang menunda-nunda waktu. Aku pikir dengan waktu yang cukup lama, DUA MINGGU, aku bisa melakukan banyak hal. Malahan kebalikannya. Kalau diingat-ingat sepertinya hampir seluruh catatan note book aku selama liburan ini aku tunda dan belum ada yang di kerjakan deh. Termasuk PR Bahasa Indonesia membuat cerpen. Hari ini saja sudah seperti ini, gimana besok?

Tapi kalau dipikir-pikir, bukan sepenuhnya salah aku juga dong. Dua minggu itu kan nggak full libur, seminggu dipakai untuk berkeliling rumah tetangga dan saudara di sekitar Jakarta. Terus kalau malam-malam di bulan Ramadhan kan tarawih dari jam 19.00 sampai jam 21.00. Sehabis tarawih aku ikut tadarusan remaja di masjid sampai jam 22.00. Habis itu aku tidur. Belom lagi kalau sore-sore sebelum azan magrib ada acara kesukaanku yang wajib ditonton. Jadi sepenuhnya bukan salah aku juga kan?

Eh nggak terasa ngelamun ternyata lama juga ya. Tahu-tahu sudah sampai di depan sekolah saja. Jalan kaki seratus meter juga nggak terasa.

Langsung aku tancap lari menuju kelas dimana terakhir aku lihat novel itu. Sampai di depan XII IPA 4, aku menjelajahi kelas mencari-cari bangku yang terakhir kali aku duduki. Yap, pojok kiri nomer tiga dari belakang, bangku kesayangan. Jadi dek-dekkan begini. Mudah mudahan masih ada itu novel di kolong meja. Bismillahirrahmanirrahim… Aku menutup mata. Mari kita hitung sama-sama satu… dua… ti…ga… Aku membuka mata. Kosong?

Mungkin ini memang jalan nasibku dan peringatan dari Allah karena telah melakukan kesalahan besar. Aku tidak memanfaatkan waktu sebaik mungkin. aku menunda-nunda waktu. aku seperti cerita dalam novel yang aku pinjam. Aku jadi seorang procrastinator dalam dua minggu ini. Apa daya aku sekarang. Meratapi nasib seorang diri dikelas dan hanya di temani beberapa murid yang sedang ekskul KIR di kelas sebelah. Benar firman Allah dalam surat Al Ashr,”Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.” Kalau sudah begini kan aku sudah merugi waktu, tenaga, dan materi.

Ya sudahlah. Ramadhan penuh berkah. Ini pelajaran untukku. Aku harus terima kenyataan dan siap dengan apa yang terjadi selanjunya. Dan aku pulang.

Tunggu… ada kertas? Jorok banget sih buang sampah dikolong meja aku. Pasti anak ekskul nih. Ada bacaannya lagi,”Telah ditemukan novel ‘The Procrastinator : si penunda waktu’ di kolong meja ini, barang siapa yang merasa pernah meletakannya segera hubungi penjaga sekolah. Terimakasih.”

Alhamdulillah Ya Allah. Nggak lagi-lagi deh…