cerpen 2
Maaf Dari Bandung
Rumah Bintang, pukul 19.00
Kring...kring...kring suara ponsel
Ramadhan berbunyi. Bintang sudah mencoba berkali-kali menelpon Ramadhan, tapi sayang tidak ada seorang
pun yang mengangkat. Ramadhan lupa membawa ponsel. Lima menit kemudian Bintang
mencoba menelpon lagi. Berharap kali ini ada seseorang yang mengangkat telepon
sekalipun itu bukan Ramadhan. Ternyata yang mengangkat telepon adalah tantenya
Ramadhan.
“Assalamualaikum,” dengan nada yang
gugup dan tubuh yang bergetar Bintang
menyapa seseorang dalam teleponnya, mengira itu adalah Ramadhan.
“Waalaikumsalam,” suara lembut dari
balik telepon menyapa Bintang seolah membawa Bintang hadir didekatnya. “Ini
Bintang yah ? saya tantenya Ramadhan. Pasti bintang mau cari Ramadhan yah ?”
“Lho, kok tante tau nama aku ?” Bintang
mengangkat alisnya tinggi-tinggi, rasa gugup Bintang kini hilang dan berubah
menjadi rasa tanya yang penuh.
“Hahaha.... Bintang... Bintang....
kan ada di kontak handphonenya Ramadhan,” jawab tantenya sekaligus mengakhiri pecakapan secara sepihak. Dari situ Bintang jadi makin penasaran akan keberadaan Ramadhan.
Ramadhan...
Ramadhan... dimana sih kamu...
Sudah hampir enam pekan Ramadhan menghilang
tanpa kabar, dan hampir enam pekan pula Ramadhan tidak masuk sekolah. Entah apa penyebabnya Ramadhan
menghilang tanpa kabar. Bahkan Bintang dan Friztka, teman terdekat Ramadhan pun
tidak mengetahui keberadaan Ramadhan.
Terakhir kali Bu Wahyu, wali kelas Ramadhan melihat Ia pulang bersama Bintang. Namun, saat Bintang ditanya apakah Bintang meninggalkan pesan sebelum Ia pergi, Bintang menjawab tidak. Seluruh teman sekelas ramadhan juga sudah mencoba mencari informasi, Namun tak satu pun mendapat jawaban pasti. HP Ramadhan masih aktif ditelepon, namun tak satu pun telepon itu terjawab. Sebab itu bu Wahyu lalu menyuruh Bintang menelpon Ramadhan kembali.
Kabar terakhir didengar adalah kepergian ayahanda dari Ramadhan ke Rahmatullah. Bu Wahyu lalu menghampiri rumah Ramadhan.Bu Wahyu mencoba memasuki pertanyaan seputar Ramadhan kepada Ibunda Ramadhan, namun Ibunda Ramadhan masih bunkam seribu bahasa. Namun Bu Wahyu masih berpositif thingking. Bu Wahyu pikir mungkin Ibunda Ramadhan masih berkabung duka sehingga masih butuh waktu untuk mengingatkannya pada hal itu.
***
Rumah Ramadhan,
pukul 19.00
Lima hari sudah semenjak kepergian
ayahanda Ramadhan ke sisi-Nya. Walau pun suasana rumah masih terselimuti
keadaan berkabung duka, Bu Wahyu tidak mau menunda-nunda waktu. beliau tidak
mau terlalu lama menunggu informasi yang tak pasti. Kali ini beliau bertekat
harus mendapatkan titik terang hari itu juga. Walaupun bukan Ibu kandung, namun sebagai Walikelas hati kecil Bu Wahyu merasa meliliki tanggung jawab dan sayang pada semua anak muridnya. Bu Wahyu Sepulang mengajar langsung menuju rumah Ramadhan.
Bu Wahyu memasuki rumah Ramadhan
sambil berharap kali ini sang narasumber utama, Ibunda Ramadhan, sudah melepas masa kabungnya dan memberi
sedikit informasi tentang hilangnya Ramadhan. Walau pun rasa lelah menyelimuti
tubuh Bu Wahyu seolah mengajaknya untuk menyerah, tetapi karena semangat dan
rasa sayang sang wali kelas terhadap anak muridnya, Bu Wahyu menghiraukan rasa
lelah tersebut.
“Ini semua salah saya,” perkataan
yang mencengangkan datang dari mulut ibunda Ramadhan. “Kalau saja saya teh tidak
melakukan hal bodoh itu, semua teh tidak akan jadi begini,” perkataan tersebut
akhirnya terlontar setelah dua jam Bu Wahyu dan ibunda Ramadhan
berbincang-bincang. Bu Wahyu memang sengaja membuat ibunda Ramadhan membuka
mulut dengan mengolah obrolan perlahan-lahan menuju target utama.
“Maaf bu, saya kurang mengerti
maksud ibu.”
“Hhhaaah,” sambil menghela nafas. “Jadi
dulu di Bandung sebelum kami pindah ke Bekasi. Ramadhan punya temen dekat. Ia
anak baru dari Jakarta namina teh Raka, ia anaknya nakal pisan, tapi bukan ieu
masalahnya. Ia seorang pemakai dan pergaulannya bebas, terus lama-lama ayahnya
tahu dan melarang mereka berteman dan mengajak pindah rumah.
“Oh begitu, lalu ?”
“Ramadhan bilang ia tidak akan
terpengaruh dan Raka tidak akan memepengaruhinya karena Raka sudah berjanji.
Kelihatannya juga hidupnya Ramadhan jadi lebih bahagia semenjak kenal Raka."
Raka memang berbeda dengan orang
lainnya. Raka senang memakai barang haram itu tapi hanya untuk mengenang kekasih
lamanya yang meninggal karena over dosis barang haram itu. Raka suka menceritakan
Ramadhan cerita-cerita yang mengandung pelajaran tentang hidup dan hal itu
telah merubah hidup Ramadhan yang sebelumnya tertutup menjadi terbuka pada
siapa saja. Raka tidak pernah mengajak Ramadhan memakai barang haram tersebut.
pernah sesekali Ramadhan mengajak bercanda dengan meminta sedikit barang haram
itu ada di tubuhnya, Raka langsung marah-marah dan menamparnya.
“Lalu adakah hubungan Raka dengan hilangnya Ramadhan ?”
“Sebenarnya saya, iya saya yang menyuruh
Ramadhan pergi. Jadi tiga hari hari sebelum hari sabtu, hari terakhir Ramadhan
berada di rumah. Ia bertengkar hebat dengan ayahnya. Saya mencoba melerai
mereka. Kemudian saya ajak Ramadhan bicara dan menjelaskan semuanya. Saya
percaya pada Ramadhan, lalu muncul ide. Saya beri ia uang dan pembekalan lainnya
untuk ia balik ke Bandung tanpa sepengetahuan ayahnya.”
“Ia benar-benar merasakan konflik
batin yang berat, lalu ?”
“Saya antar ia ke terminal bus
menuju Bandung. Saya ingat kata terakhir yang ia ucapkan. Ma.. sampeinkan maafku sama papa yah. Ma.. aku janji aku nggak akan
pernah ngecewain mama. Di rumah saya lihat ponselnya tertinggal dan saya
suruh tentenya dari Bandung mengantarkan ponsel itu beberapa hari yang lalu.”
“Jadi Ramadhan ada di rumah
tantenya ?”
“Bukan, ia ngekos.”
“Oh..., oh ya maaf boleh saya tahu
penyebab ayahnya Ramadhan... meninggal dunia?”
“Ia memang punya penyakit jantung. Semenjak kepergian Ramadhan, Ayahnya jadi murung terus. karna saya tidak tega, jadi saya ceritakan semuanya pada Ayahnya, tapi bukannya membaik malah ia harus di bawa ke rumah sakit.
Kejadian itu terasa sangat cepat, mungkin karena stres yang berkepanjangan.”
***
Ruang guru, keesokan
harinya
“Assalamualaikum , Bu Wahyu semalam
saya sudah coba telepon hapenya Ramadhan tapi yang angkat tentenya.”
“Iya ibu tahu hapenya ada di
tantenya, oh ya semalam ibu juga sudah ke rumah Ramadhan. Ibunya Ramadhan juga
sudah menceritakan semuanya. Nanti ibu mau hari Minggu kamu dan Friztka ikut
ibu ke Bandung ke tempat Ramadhan.”
“Jadi Ibu sudah tahu keberadaan
Ramadhan ?” senangnya Bintang mendengar hal tersebut. Bu Wahyu mengangguk. Tanpa sadar Bintang dan Friztka langsung
memeluk bu Wahyu. “Alhamdulillah.”
***
Bandung, Hari Minggu
Bu Wahyu, Bintang, dan Friztka
pergi ke kediaman Ramadhan. Sampai di depan pintu kos-kosan Ramadhan mereka
mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban. sebenarnya dari kejauhan Ramadhan
mengawasi mereka bertiga. Sejak mereka turun dari angkutan umum di seberang
jalan Ramadhan sudah membututi mereka bertiga. Perlahan-lahan kaki Ramadhan
melangkah agar mereka tidak curiga. Sesekali mereka curiga ada seseorang
membuntuti mereka dan menoleh kebelakang, namun kemudian mereka abaikan pikian
itu dan melanjutkan perjalanan. Tidak ingin lama-lama keberadaanya diketahui
orang lain kecuali keluargannya Ramadhan bergegas pergi.
Bu Wahyu mencoba menelpon tante
Ramadhan tapi ternyata ponselnya tidak mendapat sinyal. Mereka menunggu
Ramadhan seharian di kos-kosan yang bisa dibilang sepi pengunjung dan jauh dari
keramaian, berharap Ramadhan akan datang. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk
kembali ke Bekasi.
Ketika di perjalanan menuju Bekasi,
Bintang mendapat telepon dari Ramadhan. “Hallo, Bintang. Bin, sorry kamu sama
bu Wahyu nggak usah repot-repot cari aku lagi yahh.... aku bahagia kok disini
jadi kamu nggak usah khawatir yahh....”
“Iya, tapi kenapa?” tanya Bintang
yang setengah tidak percaya Ramadhan menelponnya.
“Tenang aja, aku bahagia disini sama
Raka sahabat terbaik aku. Bukan berarti kamu bukan sahabat terbaik aku. aku
seneng aja sama dia. Dia itu beda, dia nggak pernah minta apa-apa dari aku
walau pun dia tahu status aku anak siapa. aku juga udah tahu kok tentang papa
aku, sedih sih.. tapi disisi lain aku juga bahagia.”
“Dhan.., Ini bu Wahyu mau
ngomoo...”
“Ssssttt... udah nggak usah
ngomong.” Ramadhan memotong. “Maaf, maaf, maa...ffff banget aku nggak punya
waktu banyak. Salam aja yah.. buat anak-anak, bilang aku senang bisa belajar
bareng mereka. Salam juga buat Bu Wahyu, sampein maaf aku udah bikin repot.”
“Tapiii....”
Tut...tut...tut... adalah suara
terakhir yang terdengar dari ponsel Bintang. Sejak itu keberadaan Ramadhan
makin sulit diketahui. Entah kemana Ramadhan pergi, beberapa kali ada yang
memberi informasi tentang keberadaan Ramadhan. ada yang bilang kalau ia ada di
tempat tantenya di Dago, di daerah Bandung. Ada juga yang bilang kalau ia ada
di daerah pedalaman di Jakarta. Ada juga yang bilang kalau Ramadhan telah
tiada. Keberadaan Ramadhan makin hari makin sulit di ketahui. Ia kini tidak
pernah terlihat lagi, bahkan oleh keluarganya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar